Sejarah Gunung Muria Kudus
Gunung Muria merupakan salah satu gunung di Jawa Tengah, Indonesia. Gunung Muria pun menjadi salah satu gunung yang paling sering saya kunjungi. Terletak di wilayah kabupaten Kudus, Pati dan Jepara, gunung Muria yang berketinggian 1.602 meter dpl, menjadi gunung yang tidak terpisahkan dari sejarah penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Di sinilah, Sunan Muria, salah satu Wali Sanga, dimakamkan.
Tulisan ini sekedar sharing
tentang sejarah, status, dan potensi gunung Muria. Meskipun bukanlah
ahli gunung ataupun pakar geologi, namun melihat minimnya data dan
tulisan tentang gunung Muria, sebagai orang yang beberapa kali
menjejakkan kaki di sana, Alamendah tergerak untuk menulis ini.
Sejarah dan Status Gunung Muria.
Tidak banyak yang bisa diketahui tentang sejarah gunung Muria.
Diperkirakan gunung Muria berusia tidak terlalu tua dibandingkan
gunung-gunung lainnya. Gunung ini baru terbentuk sekitar 1 juta hingga 10.000 tahun sebelum Masehi.
Masih menurut perkiraan beberapa ahli, gunung Muria pun dulunya merupakan sebuah pulau
vulkanik yang terpisah dari daratan pulau Jawa. Dalam kurun 500 – 1000
tahun terakhir, pulau Muria ini kemudian menyatu dengan pulau Jawa
akibat sedimentasi dan subduksi lempeng. Dugaan ini diperkuat catatan HJ
De Graaf dan Th G Pigeaud (Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan
dari Majapahit ke Mataram; Grafiti Pers, 1985) yang mengisahkan jalur
perdagangan pada masa lalu yang dilakukan dari Semarang – Demak langsung
menuju Rembang dengan melalui selat sempit diantara Jawa Tengah dan
pulau Muria.
Seperti sejarahnya, status gunung Muria
pun masih sering diperdebatkan para ahli. Meskipun tidak tergolong
sebagai gunung api aktif, namun banyak ahli yang tidak berani
menyebutnya gunung api mati (extict). Karenanya banyak ahli memilih menganggapnya sebagai gunung api ‘tidur’ (dormant). Prihadi et al (2005), Geologi ITB dan kawan-kawannya dari BATAN dalam “Volcanic Hazard Analysis for Proposed Nuclear Power Plant Siting in Central Java, Indonesia” menyimpulkan bahwa Gunung Muria sebagai non-capable volcano for magmatic eruption in the near future.
“Dalam waktu dekat tidak akan meletus”. Diperkirakan, terakhir kali
gunung Muria meletus antara tahun 300 Masehi – 160 Sebelum Masehi.
Potensi Gunung Muria.
Yang paling dikenal dari gunung Muria adalah keberadaan obyek wisata
religi di kecamatan Dawe, Kudus, di mana terdapat makam Sunan Muria.
Sunan Muria merupakan salah satu dari Wali Sanga, Sembilan Wali penyiar
agama islam di Jawa. Pun yang tidak kalah terkenalnya adalah rencana
pemerintah untuk mendirikan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di
lereng gunung Muria di kawasan Jepara yang kemudian mendapatkan
penolakan dari berbagai kalangan.
Selain itu masih terdapat berbagai obyek yang sangat menarik di gunung Muria. Beberapa obyerk itu di antaranya adalah:
-
Air Terjun Montel (Dawe, Kudus; dekat komplek Makam Sunan Muria).
-
Air Tiga Rasa (Rejenu, Dawe, Kudus); Tiga sumber mata air dengan rasa berlainan yang salah satunya seperti rasa sprite. Konon berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
-
Air Terjun Ginggomino (Rejenu, Dawe, Kudus; dekat Air Tiga Rasa)
-
Situs Makam Syeh Sadzali (Rejenu, Dawe, Kudus; satu komplek dengan Air Tiga Rasa)
-
Puncak Argowiloso (Dawe, Kudus; salah satu puncak tertinggi di gunung Muria)
-
Puncak Songlikur atau Saptorenggo (Gebog, Kudus); Merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria dengan situs kuno di atasnya yang kerap didatangi peziarah utamanya pada malam tahun baru Jawa.
-
Puncak Argojembangan (Salah satu puncak tertinggi di gunung Muria)
-
Situs Abiyoso (Gebog, Kudus); Situs makam Eyang Abiyoso yang kerap didatangi peziarah utamanya pada malam tahun baru Jawa.
-
Air Terjun Santi (Tlogowungu, Pati)
-
Air Terjun Grenjengan Sewu (Gunungwungkal, Pati)
-
Waduk Gunung Rowo (Gembong, Pati)
-
Waduk Seloromo (Gembong, Pati)
-
Perkebunan Kopi dan Bumi Perkemahan Jolong (Gembong, Pati)
-
Air Terjun Songgo Langit (Kembang, Jepara)
-
Air Terjun Jurang Nganten (Pakis Aji, Jepara)
SEJARAH GUNUNG KRAKATAU
Sepertinya tidak ada hal istimewa di Gunung Anak Krakatau, selain letaknya yang berada di tengah laut.
“Turis asing biasanya datang hanya buat `trekking`. Mereka naik ke puncak dan berfoto, itu saja,” kata Amir 29 tahun, salah seorang penjaga Anak Krakatau.
Amir yang berasal dari Pulau Sebesi, pulau yang berjarak dua jam perjalanan dengan kapal dari Anak Krakatau tersebut, malah lebih tertarik untuk menceritakan mengenai kisah misteri yang melingkupi Anak Krakatau.
“Kadang-kadang, di malam hari kami mendengar suara-suara ramai, padahal tidak ada orang,” katanya.
Kadangkala disertai dengan penampakan hewan-hewan yang tidak seharusnya berada di Anak Krakatau, karena di pulau yang evolusinya dijaga ketat itu, hingga kini cuma ada burung dan kupu-kupu serta hewan-hewan kecil lainnya.
Amir menyebutkan bahwa beberapa pengunjung mengaku melihat hewan-hewan seperti kadal besar atau burung besar, padahal polisi hutan yang melakukan patroli rutin hampir setiap hari tidak pernah menjumpai hewan-hewan itu.
“Waktu itu, sekitar bulan Juli, kami mendengar suara ribut di sekitar Pulau,” tutur M Ikbal, polisi hutan Krakatau, menambah cerita misterius di Anak Krakatau.
Dari berbagai suara tersebut, Ikbal menyebutkan bahwa ia mendengar suara perempuan memanggil nama “Bambang”. “Suara kadang aneh, ada dagelan, ada wayang juga,” ceritanya.
Padahal, sejak bertugas di Anak Krakatau tahun 1991, Ikbal tidak pernah mendengar suara ribut seperti malam itu. “Kami juga melihat ada siluet kapal, tapi tidak jelas,” katanya.
Tengah malam, ia dan penjaga lainnya memutuskan untuk berpatroli mencari sumber suara tersebut. Namun setelah berkeliling menyusuri pulau, mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.
Misteri Vulkanik
Orang boleh tidak percaya dengan berbagai cerita misteri dan berbau mistis tentang Gunung Anak Krakatau. Tapi kemunculannya yang penuh kejutan pada tahun 1927, sungguh merupakan misteri vulkanik yang tiada duanya di dunia.
Proses kemunculan Anak Krakatau berawal dari letusan dahsyat “induknya”, Gunung Krakatau, pada 27 Agustus 1883.
Menurut catatan sejarah, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia dan menimbulkan tsunami terhebat sebelum bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Disebutkan bahwa semburan lahar dan abu Gunung Krakatau waktu itu mencapai ketinggian 80 km, sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun.
Ledakannya menimbulkan gelombang pasang setinggi 40 meter dan menyapu bersih pantai sepanjang Teluk Lampung dan pantai barat daerah Banten.
Sedikitnya 36.000 orang tewas waktu itu dan suara letusannya disebut-sebut terdengar hingga di Singapura dan Australia. Letusan Kratakau juga menimbulkan rangkaian gempa bumi yang menjalar sampai ke Australia selatan, Srilanka dan Filipina.
Dalam buku “Javanese Book of Kings”, disebutkan bahwa Gunung Krakatau Lama (purba) tingginya kala itu mencapai 2.000 meter dengan radius 11 km.
Ketika meletus, ledakannya mengakibatkan tiga perempat tubuhnya hancur dan menyisakan gugusan tiga pulau kecil yaitu Pulau Sertung, Pulau Panjang dan Pulau Krakatau Besar.
Empat puluh empat tahun kemudian lahir cikal bakal Anak Krakatau. Disebutkan bahwa sekitar tahun 1927, para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda, tiba-tiba terkejut dengan kemunculan kepulan asap hitam di permukaan laut di antara tiga pulau yang ada.
Setahun setelah kemunculan asap itu, muncullah Gunung Anak Krakatau. Hingga kini, Gunung Anak Krakatau terus “tumbuh”, dan ketinggian telah mencapai 280 meter dari permukaan laut.
Untuk mendaki puncak Anak Krakatau, diperlukan izin khusus yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. “Ada izin masuk yang dikeluarkan BKSDA, namanya Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). “Untuk masuk ke Anak Krakatau, sistemnya bukan menggunakan karcis masuk, karena Anak Krakatau adalah cagar alam,” kata Kepala BKSDA Lampung Agus Harianta.
Peraturan tersebut, menurut Agus adalah untuk menjamin keamanan para pengunjung, karena Anak Krakatau seringkali menunjukkan aktivitas yang dianggap berbahaya.
Bahkan, setelah gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 lalu, ada kekhawatiran Anak Krakatau akan meletus.
Beberapa kali status aktivitas Anak Krakatau memang ditingkatkan menjadi “waspada”, namun pengunjung masih mendapatkan surat izin jika kondisinya dinilai tidak membahayakan.
Cerita Misteri Bikin Lestari
Dengan setengah bercanda, Agus berkata bahwa munculnya cerita misteri yang melingkupi Anak Krakatau, sebenarnya merupakan hal bagus bagi kelangsungan evolusi ekosistem di gunung itu.
“Itu bagus karena wisatawan jadi berpikir dua kali untuk datang ke sana,” katanya sambil tersenyum.
Menurut dia, Anak Krakatau sebenarnya memang bukan sekadar daerah wisata, melainkan yang utama adalah fungsinya sebagai cagar alam. Anak Krakatau merupakan “harta paling berharga” bagi ilmu pengetahuan, karena kemunculan gejala gunung berapi dari dalam laut sungguh fenomena sangat langka di dunia.
Oleh karena itu, ekosistem Gunung Anak Krakatau yang saat ini terus berevolusi, dijaga sangat ketat kelestariannya.
Tercatat hanya empat tujuan seseorang diperbolehkan menginjakkan kakinya di Anak Krakatau, yaitu melakukan penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan dan penunjang budidaya.
Pengaturan ketat tersebut dilakukan terhadap Gunung Anak Krakatau mengingat kian hari kian banyak wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing.
Banyaknya wisatawan ke Gunung Anak Krakatau saat ini, karena rute untuk mencapainya cukup mudah, yakni lewat Pelabuhan Canti, Kalianda, Lampung Selatan.
Dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung, hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapai Pelabuhan Canti, Kalianda, pelabuhan nelayan yang terdekat dengan Krakatau.
Wisatawan, dari Canti menyeberang ke Pulau Sebesi, pulau berpenghuni terdekat dengan Krakatau. Dengan menggunakan perahu sewaan, Anak Krakatau dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam dari Pulau Sebesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar